MARI BERGABUNG KE KOMUNITAS DONGAN BATAK SEDUNIA GROUP(FACEBOOK)

Minggu, 18 Maret 2012

PERBEDAAN

Menghargai perbedaan.......... Pada suatu waktu, ada seorang mahaguru yang ingin mengambil break(refresing) dari kehidupannya sehari-hari sebagai akademisi. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke sebuah pantai dan meminta seorang nelayan untuk membawanya pergi melaut sampai ke horizon. Seperempat perjalanan, mahaguru tersebut bertanya, "Wahai nelayan, apakah Anda mengenal ilmu geografi?" Sang nelayan menjawab, "ilmu geografi yang saya ketahui adalah kalau di laut sudah mulai sering ombak pasang, maka musim hujan segera akan tiba." "Nelayan bodoh!" kata mahaguru tersebut. "Tahukah kamu bahwa dengan tidak menguasai ilmu geografi kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu." Seperempat perjalanan berikutnya, mahaguru tersebut bertanya pada nelayan apakah dia mempelajari ilmu biologi dan sains? Sang nelayan menjawab bahwa ilmu biologi yang dia kenal hanyalah mengetahui jenis ikan apa saja yang dapat dimakan. "Nelayan bodoh, dengan tidak menguasai sains kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu." Kemudian mahaguru tersebut bercerita tentang Tuhan yang menciptakan umat manusia dengan struktur tubuh, kapasitas otak yang sama, dan lain-lain. Selanjutnya mahaguru tersebut bertanya apakah nelayan tersebut mempelajari matematika? Sang nelayan menjawab bahwa matematika yang dia ketahui hanyalah bagaimana cara menimbang hasil tangkapannya, menghitung biaya yang sudah dikeluarkannya, dan menjual hasil tangkapannya agar dapat menghasilkan keuntungan secukupnya. Lagi-lagi mahaguru tersebut mengatakan betapa bodohnya sang nelayan dan dia sudah kehilangan lagi seperempat kehidupannya. Kemudian, di perjalanan setelah jauh dari pantai dan mendekati horizon, mahaguru tersebut bertanya, "apa artinya awan hitam yang menggantung di langit?" "Topan badai akan segera datang, dan akan membuat lautan menjadi sangat berbahaya." Jawab sang nelayan. "Apakah bapak bisa berenang?" Tanya sang nelayan. Ternyata sang mahaguru tersebut tidak bisa berenang. Sang nelayan kemudian berkata, "Saya boleh saja kehilangan tiga-perempat kehidupan saya dengan tidak mempelajari tiga subyek yang tadi diutarakan oleh mahaguru, tetapi mahaguru akan kehilangan seluruh kehidupan yang dimiliki." Kemudian nelayan tersebut meloncat dari perahu dan berenang ke pantai sedangkan mahaguru tersebut tenggelam. Demikian juga dalam kehidupan kita, baik dalam pekerjaan ataupun pergaulan sehari-hari. Kadang-kadang kita meremehkan teman, anak buah ataupun sesama rekan kerja. Kalimat "tahu apa kamu" atau "si anu tidak tahu apa-apa" mungkin secara tidak sadar sering kita ungkapkan ketika sedang membahas sebuah permasalahan. Padahal, ada kalanya orang lain lebih mengetahui dan mempunyai kemampuan spesifik yang dapat mengatasi masalah yang timbul. Seorang operator color mixing di pabrik tekstil atau cat mungkin lebih mengetahui hal-hal yang bersifat teknis daripada atasannya. Intinya, orang yang menggeluti bidangnya sehari-hari bisa dibilang memahami secara detail apa yang dia kerjakan dibandingkan orang 'luar' yang hanya tahu 'kulitnya' saja. Mengenai kondisi dan kompetisi yang terjadi di pasar, pengetahuan seorang marketing manager mungkin akan kalah dibandingkan dengan seorang salesperson atau orang yang bergerak langsung di lapangan. Atau sebaliknya, kita sering menganggap remeh orang baru. Kita menganggap orang baru tersebut tidak mengetahui secara mendalam mengenai bisnis yang kita geluti. Padahal, orang baru tersebut mungkin saja membawa ide-ide baru yang dapat memberikan terobosan untuk kemajuan perusahaan. Sayangnya, kadang kita dibutakan oleh ego, pengalaman, pangkat dan jabatan kita sehingga mungkin akan menganggap remeh orang lain yang pengalaman, posisi atau pendidikannya di bawah kita. Kita jarang bertanya pada bawahan kita. Atau pun kalau bertanya, hanya sekedar basa-basi, pendapat dan masukannya sering dianggap sebagai angin lalu. Padahal, kita tidak bisa bergantung pada kemampuan diri kita sendiri, kita membutuhkan orang lain. Keberhasilan kita tergantung pada keberhasilan orang lain. Begitu sebuah masalah muncul ke permukaan, kita tidak bisa mengatasinya dengan hanya mengandalkan kemampuan yang kita miliki. Kita harus menggabungkan kemampuan kita dengan orang lain. Sehingga bila perahu kita tenggelam, kita masih akan ditolong oleh orang lain yang kita hargai kemampuannya. Tidak seperti mahaguru yang akhirnya ditinggalkan di perahu yang sedang dilanda topan badai dan dibiarkan mati tenggelam karena tidak menghargai kemampuan nelayan yang membawanya. Yang jadi pertanyaan kita sekarang, apakah kita masih suka bertingkah laku seperti sang mahaguru? Bila ya, seberapa sering?

Rabu, 12 Oktober 2011

BATAK TOBA

Perkawinan Adat Batak Toba
Perkawinan adat Batak Toba tak bisa dilepaskan dengan simbol-simbol adat, antara lain ulos. ABSTRACT In the traditional custom of Batak Toba, every significant event, like marriage, is usually preceded by traditional ritual. There are at least two main reasons of why the ritual is consodered important. Firstly, for the people of Batak Toba marriage is the beginning of a new kinship. Marrriage is not only between two persons, but also between two groups, i.e. boru and hulahula. Secondly, marriage is important because it has also a transcendental meaning. The transcendental meaning is based on the Trinitarian Dalihan Natolu, the three main pilars of marriage: hulahula, boru and dongan sabutuha, which in turn represent Batara Guru, Soripada and Mangalabulan, the embodiments of Debata Mulajadi Nabolon. Marriage is not merely a human affair, but rahter, a cosmic act of perfection by way of revitalization, reorientation, reconciliation and reconfiguration of life, somehow that it forms a new creation. Such belief provides a point of contact which christian theology of marriage. And this fact leads to the importance of theological elaboration concerning the inculturation of the liturgy of marriage within the context of Batak Toba’tradition.
I. PENGANTAR Dalam adat Batak Toba, penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui perkawinan tak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat bersangkutan. Demikianlah keseluruhan rangkaian ritus perkawinan adat Batak-Toba mengiyakan pentingnya peran masyarakat, bahkan ia tak dapat dipisahkan dari peran masyarakat. Inilah yang terlihat dari dinamika rangkaian ritus perkawinan adat Batak-Toba, sebagaimana akan diuraikan Tulisan ini. II. RANGKAIAN RITUS PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA
a) Ritus Secara umum, dalam adat Batak Toba, upacara perkawinan didahului oleh upacara pertunangan. Upacara ini bersifat khusus dan otonom; diakhiri dengan tata cara yang menjamin, baik awal penyatuan kedua calon pengantin ke dalam lingkungan baru, maupun perpisahan dan peralihan dari masa peralihan tetap, sebagaimana akan diteguhkan dalam upacara perkawinan. Dengan demikian, tata upacara perkawinan terdiri dari “tata cara penyatuan tetap atau permanen” ke dalam lingkungan (sosial) baru, dan tata cara penyatuan yang bersifat personal. (Arnold van Gennep, The Rites of Passage. London & Henley: Routledge & Kegan Paul, 1965, hlm. 116]. Berdasarkan jenisnya ritus atau tata cara yang digunakan, perkawinan adat Bata Toba dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan: Unjuk: ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua prosedur adat Batak Dalihan Na Tolu. Inilah yang disebut sebagai tata upacara ritus perkawinan biasa (unjuk); Mangadati: ritus perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan mangalua atau kawin lari, tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan tersebut memiliki anak; dan Pasahat sulang-sulang ni pahoppu: ritus perkawinan yang dilakukan di luar adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan bersangkutan mangalua dan ritusnya diadakan setelah memiliki anak. b) Fungsi dan Peran Kompleksitas upacara perkawinan adat Batak Toba meliputi peran subyek dan objek yang terlibat di dalamnya. Menurut Arnold van Gennep (Arnold van Gennep, hlm. 117-118.), kompleksitas upacara perkawinan dapat dijelaskan dalam 5 (lima) pokok permasalahan: dua jenis yang berbeda, garis keturunan, keluarga, suku, dan tempat tinggal: The collectivities in question are: the two sex groups, sometimes represented by the ushers and bridesmaids, or by the male relatives on one hand and the female relatives on the other; patrilineal or matrilineal descent groups; the families of each spouse in the usual sense of the word, and sometimes families broadly speaking, including all relatives; groups such as a totem clan, fraternity, age group, community of the faithful, occupational association, or caste to which one or both of the young people, their mothers and fathers, or all their relatives belong; the local group (hamlet, village, quarter of a city, plantation,etc). Uniknya, dalam ritus perkawinan adat Batak Toba, selain kedua mempelai juga dilibatkan seluruh perangkat masyarakat. Perbedaannya, peran-peran dalam rangkaian upacara perkawinan adat Batak Toba selalu terkait dengan tiga kedudukan utama dalam adat: dongan-sabutuha / dongan-tubu, hulahula, dan boru. c) Pertukaran Prestasi Selain pentingnya inisiasi (masa peralihan) dan peran-peran yang terlibat, perkawinan juga menyangkut aspek ekonomi dengan segala macam kepentingan di dalamnya, termasuk dalam hal perencanaan pesta perkawinan yang akan dilaksanakan. Peranan dasar aspek ekonomi ini, misalnya, tampak jelas dalam menetapkan jumlah uang, pembayaran, pengembalian pembayaran: harga pengantin (sinamot), pembayaran para pelayanan pengantin selama upacara perkawinan berlangsung, dst.. Konsep “pembayaran” dalam perkawinan adapt mencakup “pembayaran” oleh pihak pengantin laki-laki atau kerabatnya kepada ayah atau pemelihara pengantin wanita. Pembayaran ini bahkan merupakan bagian utama dari pengesahan perkawinan menurut adat Batak Toba. Bila pertukaran ini sudah sudah terpenuhi, maka perkawinan itu menjadi sah dan keluarga yang baru itu sudah mandiri; dan bila sebaliknya yang terjadi, maka pengantin pria harus membaktikan diri untuk keluarga wanita sampai tuntutan nikah ini terpenuhi (Bdk. Kisah Yakub dan Rahel dalam Kej 29:20). Artinya, pengesahan suatu perkawinan mencakup seluruh rangkaian “prestasi” : suatu tindakan membayar apa yang dituntut adat / tuntutan adat untuk membayar sesuatu yang berasal dari usaha atau kemampuan seseorang. Pertimbangannya adalah jika keluarga, desa, atau suku tertentu kehilangan anggota-anggotanya yang produktif (laki-laki atau perempuan yang akan menikah), sedikitnya haruslah memperoleh “imbalan” dari pihak yang “mendapatkan” mereka. Dalam upacara perkawinan adapt Batak Toba, hal ini dijelaskan dalam tindakan simbolik pembagian makanan, pakaian, perhiasan, dan diatas semuanya itu banyak tata cara yang mencakup “uang tebusan”. “Tebusan-tebusan” ini selalu terjadi pada waktu bersamaan dengan upacara-upacara perpisahan. Harga mempelai wanita, menurut hukum adat, dimiliki oleh anak perempuan; dan kesepakatan itu ditinjau dari makan bersama, saling mengunjungi diantara keluarga-keluarga, pertukaran hadiah-hadiah yang diberikan oleh para kerabat, sahabat, dan tetangga. III. KEKHASAN PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA a) Ciri-Ciri Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak-Toba menganut hukum eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak-Toba: orang tidak mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto), perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis lelaki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki. Ada 2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat Batak-Toba, yakni (1) Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari kedua mempelai; dan (2) Mengandaikan kedua mempelai memiliki rongkap ni gabe (kebahagiaan, kesejahteraan), dan demikian mereka akan dikaruniai banyak anak. Sementara ketidakrukunan antara suami-isteri terjadi apabila tondi mereka tidak bisa lagi hidup rukun (so olo marrongkap tondina) dan itu akan tampak di kemudian hari. Ketidakrukunan ini mungkin akan mengakibatkan terjadinya perceraian. Sebaliknya, sekali mereka sudah melahirkan anak, ikatan antar-pasangan akan semakin kuat dan ikatan cinta semakin kokoh. Hukum eksogami, sebagaimana telah disinggung di atas, bahkan sudah melekat dalam diri setiap orang Batak Toba hingga sekarang. Maka, kiranya tidak mengherankan, apabila masih ada ketakutan untuk melanggarnya. Hambatan untuk benar-benar mematahkan belenggu eksogami adalah rasa takut akan meledaknya roh para leluhur. Rasa takut itu semakin meningkat oleh munculnya beberapa kasus, yaitu pelanggaran sengaja yang dilakukan oleh beberapa pasangan terhadap larangan marsubang (tabu) yang berakhir buruk bagi para pelakunya. Marsumbang/Marsubang. Yang termasuk pelanggaran, antara lain na tarboan-boan rohana (yang dikuasai oleh nafsu-keinginan), yakni orang yang menjalankan sumbang terhadap iboto (saudara perempuan dari anggota marga sendiri). Selain larangan marsubang, hubungan lain yang tidak diperkenenkan adalah marpadanpadan (kumpul kebo). Marpadan-padan (kumpul kebo). Marsumbang baru dibolehkan jika perkawinan yang pernah diadakan di antara kedua kelompok tidak diulangi lagi selama beberapa generasi. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan itu, maka pendapat umum dan alat kekuasaan masyarakat akan diminta turun tangan. Ritusnya adalah sebagai berikut: gondang mangkuling, babiat tumale (gong bertalu-talu, harimau mengaum), artinya, rakyat akan berkumpul untuk menangkap dan menghukum si pelaku. Peribahasa yang digunakan untuk semua tindakan yang melanggar susila adalah: “Manuan bulu di lapang-lapang ni bab; Mamungka na so uhum, mambahen na so jadi.” (menanam bambu di tempat babi berlalu, tidak taat hukum dan menjalankan yang tabu). Perkawinan yang dilakukan atas pelanggaran dinyatakan batal. Lelaki yang berbuat demikian, serta pihak parboru diwajibkan melakukan pertobatan (manopoti/pauli uhum) atau dinyatakan di luar hukum (dipaduru di ruar ni patik), dikucilkan dari kehidupan sosial sebagaimana yang ditentukan oleh adat. Ritusnya adalah sbb. Pihak-pihak yang melanggar harus mempersembahkan jamuan yang terdiri dari daging dan nasi (manjuhuti mangindahani). Kerbau atau sapi disembelih demi memperbaiki nama para kepala dan ketua yang tercemar karena kejadian itu. makanan yang dihidangkan sekaligus merupakan pentahiran (panagurasion) terhadap tanah dan penghuninya. IV. TAHAPAN PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA 13083726461713660519 Perkawinan Adat Batak Toba pada dasarnya sangat dinamis, indah dan penuh makna magis. Namun, di jaman ini ritual semacam ini kerap dinilai berlebihan, rumit dan bertele-tele. A. Paranakkon Hata: Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan); Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada ‘suruhan’ pihak laki-laki pada hari itu juga; dan Pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang dongan tubu, boru, dan dongan sahuta. B. Marhusip Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan); Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya; dan Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu, boru-tubu, dan dongan-sahuta. C. Marhata Sinamot Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari dongan-tubu, boru dan dongan-sahuta. Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman. Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot. D. Marpudun Saut Dalam Marpudun saut sudah diputuskan: ketentuan yang pasti mengenai sinamot, ketentuan jambar sinamot kepada si jalo todoan, ketentuan sinamot kepada parjambar na gok, ketentuan sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara, tanggal upacara, ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos kepada pihak paranak, dan ketentuan tentang adat. Tahapannya sbb.: Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam Paranak Hata, Marhusip, dan marhata sinamot; dan Semua yang dibicarakan pada ketiga tingkat pembicaraan sebelumnya dipudun (disimpulkan, dirangkum) menjadi satu untuk selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat. Itulah yang dimaksud dengan dipudun saut. Setelah semua itu diputuskan dan disahkan oleh pihak paranak dan parboru, maka tahap selanjutnya adalah menyerahkan bohi ni sinamot (uang muka maskawin) kepada parboru sesuai dengan yang dibicarakan.setelah bohi ni sinamot sampai kepada parboru, barulah diadakan makan bersama dan padalan jambar (pembagian jambar). Dalam mardipudun saut tidak ada pembicaraan tawarmenawar sinamot, karena langsung diberitahukan kepada hadirin, kemudian parsinabung parboru mengambil alih pembicaraan. Pariban adalah pihak pertama yang diberi kesempatan untuk berbicara, disusul oleh simandokkon, pamarai, dan terkahir oleh Tulang. Setelah selesai pembicaraan dengan si jalo todoan maka keputusan parboru sudah selesai; selanjutnya keputusan itu disampaikan kepada paranak untuk melaksanakan penyerahan bohi ni sinamot dan bohi ni sijalo todoan. Sisanya akan diserahkan pada puncak acara, yakni pada saat upacara perkawinan nanti.). E. Unjuk Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak perempuan (alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan. Berikut adalah tata geraknya: Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan tempat duduk.[Mengenai tempat duduk di dalam upacara perkawinan diuraikan dalam Dalihan Na Tolu. Mempersiapkan makanan, Paranak memberikan Na Margoar Ni Sipanganon dari parjuhut horbo, Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan mas), Doa makan, Membagikan Jambar, Marhata adat – yang terdiri dari [1] tanggapan oleh parsinabung ni paranak, [2] dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru, [3] Tanggapan parsinabung ni paranak, [4] tanggapan parsinabung ni parboru, Pasahat sinamot dan todoan, Mangulosi, dan Padalan Olopolop. F. Tangiang Parujungan Doa penutut pertanda selesainya upacara perkawinan adat Batak Toba.

Rabu, 05 Oktober 2011

GONDANG BATAK

Goar-goar Ni Gondang Gonsi batak Toba
Angka onma goar-goar ni gonsi naung huparguruhon sian angka dongan pargonsi dohot sian angka natua-tua naumboto ruhut ni gonsi
Gondang Napitu: Gondang mula-mula Gondang somba-somba Gondang sampur marmeme Gondang didang-didang Sampur marorot Gondang simonang-monang Gondang sitio-tio
Gondang napitu on dipangido hasuhuton ditingki mambuat tua ni gondang. Mangihuthon hatorangan ni angka natua-tua ndang apala sipangidoon ni suhut gondang hasahatan, Raja panggohi do mangido i. Gondang tu Mulajadi taringot tu panompa na dihasiangan dohot hajolmaon. Gondang Debata Mulajadi Gondang Debata Guru Gondang Debata Asi-Asi Gondang Mula Jadi Gondang mula horas Gondang mula iang Gondang mula paningaon Gondang mula songti
Gondang pangidoan ni harajaon hagabeon dohot parhorasan Gondang siatur maranak Gondang siatur marboru Gondang siatur marpahompu Gondang siatur marnini marnono Gondang siatur mar ondok-ondok indik-indik Gondang namarhaha maranggi Gondang sibane-bane Gondang saurmatua Gondang saudara Gondang harajaon Gondang satahi saoloan Gondang amana/boruna Gondang parjugia sopipot Gondang paramak sobalon on Gondang parrambuan so ra mahiang Gondang siantan sidabuan siboto buhu ni taon Gondang siapul na tangis sielek na mardandi Gondang sahala pangajari/panuturi Gondang sidas-das boru muli Gondang siapoi anak mangoli Gondang olop-olop Gondang rompulima hotang marulak Gondang mangaliat Gondang sunini ampang naopat Gondang tarsingot tusahala dohot napinarsahalaan ni mula jadi Gondang batara guru (tuhan debata) Gondang bala bulan Gondang debata sori Gondang sori mangaraja Gondang sorba di banua Gondang sibagot ni pohan Godnang sariburaja Gondang siraja biak-biak Gondang puraja bonang-bonang Gondang sijonggi raja pareme Gondang Simarimbulubosi Gondang Singamangaraja Gondang patuan nagari patuan anggi Gondang Sagala raja Gondang Silahisabungan Gondang pagar ni aji Gondang Nairasaon Gondang dung dang soaloon mataniari sosuharon Gondang Raja Buntal Gondang Raja Uti Gondang Raja Mangalambung Gondang sipongki nangolngolan Gondang tuan ni api Gondang sijonggi paok-paok Gondang sijonggi bujur Gondang tuan jori ni tangan Gondang tampar dasar Gondang pangurason Gondang pane nabolon Gondang pusuk buhit Gondang sianjur mula-mula Gondang simanuk-manuk Gondang dolok surungan Gondang dolok tolong Gondang banua holing Gondang naga baling Gondang padoha Gondang taringot boru (naung dianggap dewi) Gondang siboru deak parujar Gondang si boru donda hatahutan Gondang siboru saniang naga dilaut Gondang si boru Naipospos Gondang siboru daeng namora Gondang siboru parmual sitio-tio Gondang siboru pinta maomasan Gondang siboru saroding Gondang siboru parhorasan Gondang siboru pareme Gondang boru nasindar dolok Gondang siboru tumbaga Gondang siboru lopian nauli Gondang sipiso somalim Gondang situan jori ni tangan Gondang siboru tapiomas palangki Goar-goar ni gondang naposo bulung Gondang siburuk Gondang sibane doli Gondang sitapitola Gondang siboru illa-illa Gondang siboru enggan Gondang siboru sanggul miling-iling Gondang sibunga jambu Gondang pinasa sidung-dungon Gondang sibintang purasa Gondang silote dolok Gondang alit-alit aman jabatan Gondang marhusip Gondang parhabang ni siruba Gondang sahali tuginjang sahali tutoru Gondang tohur-tohur ni bajar-bajar langit somatombuk tano somagang-gang Gondang pidong patia raja Gondang pidong imbulu buntal Gondang anduhur titi, anduhur tabu Gondang sipitu dai Gondang ni pargonsi sisia sauduran pulik pulik pandohan. Goar-goar ni gondang monsak Gondang haro-haro mandailing Gondang silima-lima ni hurlang Gondang siratutuslimapulu Gondang tongging Gondang ni napuran silima sabobohan sisada haroburan

ULOS BATAK

Ulos Batak”, dikenal sebagai Jati diri orang Batak sesuai Budaya dan Adatnya.
>> Jenis Ulos Batak dan Fungsinya. Orang Batak sudah dikenal sebagai “Bangso”, kenapa..? Dahulu sudah memiliki Kerajaan sendiri, Mardebata Mulajadi Nabolon (“pencipta yang maha besar”), memiliki Surat Aksara Batak, dan sudah pernah memiliki Uang tukar yakni Ringgit Batak (“Ringgit Sitio Suara”), uning-uningan namarragam (“musik”), memiliki Budaya Adat, dan mempunyai Hukum. Namun sekarang ini sudah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan orang Batak Toba sudah banyak yang tidak mengetahui bahasa daerahnya sendiri, melihat perkembangan teknologi sekarang ini, tor-tor Batak sudah banyak yang tidak mengetahuinya, bahkan dewasa ini Ulos Batak tidak dikenal jenis-jenis dan Fungsinya. gbrmacamulos.JPG 2 Musa 19 ayat 10: Dung i didok Jahowa ma tusi Musa laho maho tumopot bangso i jala urasi nasida sadarion dohot marsogot asa ditatap nasida Ulos na. Dengan dasar ini Bersama Toba dot Com, mensosialisasikan Jenis dan Fungsi Ulos Batak: I.Ulos Antak-Antak, dipakai selendang orang tua melayat orang meninggal, dan dipakai sebagai kain dililit/ hohop hohop waktu acara manortor. II.Ulos Bintang Maratur, Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya didalam acara-acara yakni: Diberikan kepada anak yang memasuki rumah baru oleh orang tua, kalau diadat Toba Ulos ini diberikan waktu selamatan Hamil 7 Bulan oleh orang tua, tetapi lain halnya kalau di Tarutung Ulos ini yang diberikan waktu acara suka cita (“gembira”), Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu yang baru lahir, parompa walaupun kebanyakan kasih mangiring apalagi yang maksudnya agar anak yang baru lahir diiringi anak selanjutnya, kemudian ulos ini dipakai untuk pahompu yang dibabtis dan juga dipakai untuk sebagai selendang. III.Ulos Bolean, Ulos ini dipakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan. IV.Ulos Mangiring, Ulos ini dipakai selendang, Tali-tali, juga Ulos ini diberikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang dimaksud sebagai Simbol keinginan agar sianak diiringi anak yang seterusnya, bahkan Ulos ini dapat dipakai sebagai Parompa. V.Ulos Padang Ursa, dipakai sebagai Tali-tali dan Selendang. VI..Ulos Pinan Lobu-Lobu, dipakai sebagai Selendang. VII. Ulos Pinuncaan, Ulos ini sebenarnya terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos yang kegunaannya antara lain: Ulos ini dapat dipakai berbagai keperluan acara-acara duka cita atau suka cita, dalam acara adat ulos ini dipakai/ disandang oleh Raja-Raja Adat maupun oleh Rakyat Biasa selama memenuhi pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat suhut sihabolonon/ Hasuhutonlah (“tuan rumah”) yang memakai ulos ini, kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran, ulos ini juga dipakai/ dililit sebagai kain/ hohop-hohop oleh keluarga hasuhuton, dan Ulos ini sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan.
VIII,Ulos Ragi Hotang, Ulos ini biasa diberi kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai Ulos Hela. IX.Ragi Huting, Ulos ini sekarang sudah Jarang dipakai, konon jaman orang tua dulu sebelum merdeka, anak-anak perempuan pakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari dililit didada (Hoba-hoba), dan kemudian dipakai orang tua sebagai selendang apabila bepergian. X.Ulos Sibolang Rasta Pamontari, Ulos ini kalau jaman dulu dipakai untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada jaman sekarang ini sibolang bisa dikatakan symbol duka cita, dipakai juga sebagai Ulos Saput (yang meninggal orang dewasa yang belum punya cucu), dan dipakai sebagai Ulos Tujung (Janda/Duda yang belum punya cucu), dan kemudian pada peristiwa duka cita Ulos ini paling banyak dipergunakan oleh keluarga dekat. XI.Ulos Sibunga Umbasang dan Ulos Simpar, dipakai sebagai Selendang. XII.Ulos Sitolu Tuho, Ulos ini dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita, XIII.Ulos Suri-suri Ganjang, dipakai sebagai Hande-hande pada waktu margondang, dan dipergunakan sebagai oleh pihak Hula-hula untuk manggabe i borunya karena itu disebut juga Ulos gabe-gabe. XIV.Ulos Ragi Harangan, pemakaiannya sama dengan Ragi Pakko. XV. Ulos Simarinjam sisi, dipakai sebagai kain, dan juga dilengkapi dengan Ulos Pinuncaan disandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani yang memakai ini satu orang paling depan. XVI. Ulos Ragi Pakko, dipakai sebagai selimut pada jaman dahulu dan pengantar wanita yang dari keluarga kaya bawa dua ragi untuk selimut yang dipergunakan sehari-hari, dan itu jugalah apabila nanti setelah tua meninggal akan disaput pakai Ragi ditambah Ulos lainnya yang disebit Ragi Pakko lantaran memang warnanya hitam seperti Pakko. XVII.Ulos Tumtuman, dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan dipakai anak yang pertama dari hasuhutan. XVIII Ulos Tutur-Tutur, dipakai sebagai tali-tali dan sebagai Hande-hande yang sering diberikan oleh orang tua sebagai Parompa kepada cucunya. Maka dari jenis dan fungsi Ulos ini, disebut pengenalan jati diri orang batak sesuai Budaya dan Adatnya, dan orang Batak dikenal dari Ulos yang disandangnya, sian Tortornya bahkan dari Tungkot na. Horassssss.!!!!!.
ATAS RESTU TULANG DAN NANTULAH,KARNA ORANG TUA ADALAH DEBATA NATARIDA,...

Selasa, 04 Oktober 2011

JABU BOLON (RUMAH BATAK)

RUMA GORGA BATAK
.
Gorga Batak adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di dinding rumah bahagian luar dan bagian depan dari rumah-rumah adat Batak. Gorga ada dekorasi atau hiasan yang dibuat dengan cara memahat kayu (papan) dan kemudian mencatnya dengan tiga (3) macam warna yaitu : merah-hitam-putih. Warna yang tiga macam ini disebut tiga bolit.
Bahan-bahan untuk Gorga ini biasanya kayu lunak yaitu yang mudah dikorek/dipahat. Biasanya nenek-nenek orang Batak memilih kayu ungil atau ada juga orang menyebutnya kayu ingul. Kayu Ungil ini mempunyai sifat tertentu yaitu antara lain tahan terhadap sinar matahari langsung, begitu juga terhadap terpaan air hujan, yang berarti tidak cepat rusak/lapuk akibat kena sengatan terik matahari dan terpaan air hujan. Kayu Ungil ini juga biasa dipakai untuk pembuatan bahan-bahan kapal/ perahu di Danau Toba. Bahan-bahan Cat (Pewarna) Pada zaman dahulu Nenek orang Batak Toba menciptakan catnya sendiri secara alamiah misalnya : Cat Warna Merah diambil dari batu hula, sejenis batu alam yang berwarna merah yang tidak dapat ditemukan disemua daerah. Cara untuk mencarinya pun mempunyai keahlian khusus. Batu inilah ditumbuk menjadi halus seperti tepung dan dicampur dengan sedikit air, lalu dioleskan ke ukiran itu. Cat Warna Putih diambil dari tanah yang berwarna Putih, tanah yang halus dan lunak dalam bahasa Batak disebut Tano Buro. Tano Buro ini digiling sampai halus serta dicampur dengan sedikit air, sehingga tampak seperti cat tembok pada masa kini. Cat Warna Hitam diperbuat dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang ditumbuk sampai halus serta dicampur dengan abu periuk atau kuali. Abu itu dikikis dari periuk atau belanga dan dimasukkan ke daun-daunan yang ditumbuk tadi, kemudian digongseng terus menerus sampai menghasilkan seperti cat tembok hitam pada zaman sekarang.
Jenis/ Macamnya Gorga Batak Menurut cara pengerjaannya ada 2 jenis : 1. Gorga Uhir yaitu Gorga yang dipahatkan dengan memakai alat pahat dan setelah siap dipahat baru diwarnai 2. Gorga Dais yaitu Gorga yang dilukiskan dengan cat warna tiga bolit. Gorga dais ini merupakan pelengkap pada rumah adat Batak Toba. Yang terdapat pada bahagian samping rumah, dan dibahagian dalam. Menurut bentuknya Dilihat dari ornament dan gambar-gambarnya dapat pula Gorga itu mempunyai nama-namanya tersendiri, antara lain ; • Gorga Ipon-Ipon, Terdapat dibahagian tepi dari Gorga; ipon-ipon dalam Bahasa Indonesia adalah Gigi. Manusia tanpa gigi sangat kurang menarik, begitulah ukiran Batak, tanpa adanya ipon-ipon sangat kurang keindahan dan keharmonisannya. Ipon-ipon ada beraneka ragam, tergantung dari kemampuan para pengukir untuk menciptakannya. Biasanya Gorga ipon-ipon ini lebarnya antara dua sampai tiga sentimeter dipinggir papan dengan kata lain sebagai hiasan tepi yang cukup menarik. • Gorga Sitompi, Sitompi berasal dari kata tompi, salah satu perkakas Petani yang disangkutkan dileher kerbau pada waktu membajak sawah. Gorga Sitompi termasuk jenis yang indah di dalam kumpulan Gorga Batak. Disamping keindahannya, kemungkinan sipemilik rumah sengaja memesankannya kepada tukang Uhir (Pande) mengingat akan jasa alat tersebut (Tompi) itu kepada kerbau dan kepada manusia. • Gorga Simataniari (Matahari), Gorga yang menggambarkan matahari, terdapat disudut kiri dan kanan rumah. Gorga ini diperbuat tukang ukir (Pande) mengingat jasa matahari yang menerangi dunia ini, karena matahari juga termasuk sumber segala kehidupan, tanpa matahari takkan ada yang dapat hidup. • Gorga Desa Naualu (Delapan Penjuru Mata Angin), Gorga ini menggambarkan gambar mata angin yang ditambah hiasan-hiasannya. Orang Batak dahulu sudah mengetahui/kenal dengan mata angin. Mata angin ini pun sudah mempunyai kaitan-kaitan erat dengan aktivitas-aktivitas ritual ataupun digunakan di dalam pembuatan horoscope seseorang/sekeluarga. Sebagai pencerminan perasaan akan pentingnya mata angina pada suku Batak maka diperbuatlah dan diwujudkan dalam bentuk Gorga. • Gorga Si Marogung-ogung (Gong), Pada zaman dahulu Ogung (gong) merupakan sesuatu benda yang sangat berharga. Ogung tidak ada dibuat di dalam negeri, kabarnya Ogung didatangkan dari India. Sedangkan pemakaiannya sangat diperlukan pada pesta-pesta adat dan bahkan kepada pemakaian pada upacara-upacara ritual, seperti untuk mengadakan Gondang Malim (Upacara kesucian). Dengan memiliki seperangkat Ogung pertanda bahwa keluarga tersebut merupakan keluarga terpandang. Sebagai kenangan akan kebesaran dan nilai Ogung itu sebagai gambaran/ keadaan pemilik rumah maka dibuatlah Gorga Marogung-ogung. • Gorga Singa Singa, Dengan mendengar ataupun membaca perkataan Singa maka akan terlintas dalam hati dan pikiran kita akan perkataan: Raja Hutan, kuat, jago, kokoh, mampu, berwibawa. Tidak semua orang dapat mendirikan rumah Gorga disebabkan oleh berbagai faktor termasuk factor social ekonomi dan lain-lain. Orang yang mampu mendirikan rumah Gorga Batak jelaslah orang yang mampu dan berwibawa di kampungnya. Itulah sebabnya Gorga Singa dicantumkan di dalam kumpulan Gorga Batak • Gorga Jorgom, Ada juga orang menyebutnya Gorga Jorgom atau ada pula menyebutnya Gorga Ulu Singa. Biasa ditempatkan di atas pintu masuk ke rumah, bentuknya mirip binatang dan manusia.
• Gorga Boras Pati dan Adop Adop (Tetek), Boras Pati sejenis mahluk yang menyerupai kadal atau cicak. Boras Pati jarang kelihatan atau menampakkan diri, biasanya kalau Boras Pati sering nampak, itu menandakan tanam-tanaman menjadi subur dan panen berhasil baik yang menuju kekayaan (hamoraon). Gorga Boras Pati dikombinasikan dengan tetek (susu, tarus). Bagi orang Batak pandangan terhadap susu (tetek) mempunyai arti khusus dimana tetek yang besar dan deras airnya pertanda anaknya sehat dan banyak atau punya keturunan banyak (gabe). Jadi kombinasi Boras Pati susu (tetek) adalah perlambang Hagabeon, Hamoraon sebagai idaman orang Batak. • Gorga Ulu Paung, Ulu Paung terdapat di puncak rumah Gorga Batak. Tanpa Ulu Paung rumah Gorga Batak menjadi kurang gagah. Pada zaman dahulu Ulu Paung dibekali (isi) dengan kekuatan metafisik bersifat gaib. Disamping sebagai memperindah rumah, Ulu Paung juga berfungsi untuk melawan begu ladang (setan) yang datang dari luar kampung. Zaman dahulu orang Batak sering mendapat serangan kekuatan hitam dari luar rumah untuk membuat perselisihan di dalam rumah (keluarga) sehingga tidak akur antara suami dan isteri. Atau membuat penghuni rumah susah tidur atau rasa takut juga sakit fisik dan berbagai macam ketidak harmonisan. Masih banyak lagi gambar-gambar yang terdapat pada dinding atau bahagian muka dari rumah Batak yang sangat erat hubungannya dengan sejarah kepribadian si pemilik rumah. Ada juga gambar lembu jantan, pohon cemara, orang sedang menunggang kuda, orang sedang mengikat kerbau. Gambar Manuk-Manuk (burung) dan hiasan burung Patia Raja perlambang ilmu pengetahuan dan lain-lain. Apakah Jaha Jaha Gorga Itu ? Orang sering bertanya dan mempersoalkan tentang manjaha (membaca) Gorga Batak yang sering membingungkan banyak orang. Membaca Gorga Batak tidak seperti membaca huruf-huruf Latin atau huruf Arab atau huruf Batak, huruf Kawi dan yang lainnya. Membaca Gorga Batak yakni mengartikan gambar-gambar dan warna yang terdapat di Rumah Gorga itu serta menghubungkannya kepada Sejarah dari pada si pemilik rumah tersebut. Sebagai contoh : Disebuah rumah Gorga Batak terdapat gambar Ogung (gong), sedangkan pemilik rumah atau nenek serta Bapaknya belum pernah mengadakan pesta dengan memukul Ogung/Gendang, maka Gorga rumahnya tidak sesuai dengan keadaan pribadi pemilik rumah, maka orang yang membaca Gorga rumah itu mengatakan Gorga rumah tersebut tidak cocok. Contoh lain : Si A orang yang baru berkembang ekonominya disuatu kampung, dan membangun satu rumah Gorga Batak. Si A adalah anak tunggal dan Bapaknya juga anak tunggal. Akan tetapi cat rumah Gorga itu banyak yang berwarna merah dan keras, dan lagi pula singa-singanya (Mata Ulu Paungnya) membelalak dan menantang, maka Gorga rumahnya itu tidak cocok karena si A tersebut orang yang ekonominya baru tumbuh (namamora mamungka). Maka orang yang membaca Gorga rumahnya menyebutkan untuk si A. Sebaiknya si A lebih banyak memakai warna si Lintom (Hitam) dan Ulu Paungnya agak senyum, Ulu Paung terdapat dipuncak rumah. RUMA (RUMAH) Jadi sudah kita ketahui bahwa gorga (ukiran) Batak itu membuat Rumah Batak itu sangat indah anggun dan sangat senang perasaan melihatnya, baik orang Barat/Eropah sangat senang perasaannya melihat bentuk rumah Batak itu serta hiasan hiasannya. Bagaimanakah bahagian dalamnya? Apakah seindah dan seanggun yang kita lihat dari luarnya? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita lihat dahulu dari berbagai sudut pandang. Rumah Batak itu tidak memiliki kamar (pada zaman dahulu), jadi jelas perasaan kurang enak kalau di bandingkan pada zaman sekarang. JABU NAMAR AMPANG NA MARJUAL Para nenek moyang orang Batak (Bangso Batak) menyebut Rumah Batak yaitu “jabu na marampang na marjual”. Ampang dan Jual adalah tempat mengukur padi atau biji bijian seperti beras/kacang dll. Jadi Ampang dan Jual adalah alat pengukur, makanya Rumah Gorga, Rumah Adat itu ada ukurannya, memiliki hukum hukum, aturan aturan, kriteria kriteria serta batas batas. Biarpun Rumah Batak itu tidak memiliki kamar/dinding pembatas tetapi ada wilayah (derah) yang di atur oleh hukum hukum. Ruangan Ruma Batak itu biasanya di bagi atas 4 wilayah (bahagian) yaitu: 1. Jabu Bona ialah daerah sudut kanan di sebelah belakang dari pintu masuk rumah, daerah ini biasa di temapti oleh keluarga tuan rumah. 2. Jabu Soding ialah daerah sudut kiri di belakang pintu rumah. Bahagian ini di tempati oleh anak anak yang belum akil balik (gadis) 3. Jabu Suhat, ialah daerah sudut kiri dibahagian depan dekat pintu masuk. Daerah ini di tempati oleh anak tertua yang sudah berkeluarga, karena zaman dahulu belum ada rumah yang di ongkos (kontrak) makanya anak tertua yang belum memiliki rumah menempati jabu SUHAT. 4. Jabu Tampar Piring, ialah daerah sudut kanan di bahagian depan dekat dengan pintu masuk. Daerah ini biasa disiapkan untuk para tamu, juga daerah ini sering di sebut jabu tampar piring atau jabu soding jolo-jolo. Disamping tempat keempat sudut utaman tadi masih ada daerah antara Jabu Bona dan Jabu Tampar Piring, inilah yang dinamai Jabu Tongatonga Ni Jabu Bona. Dan wilayah antara Jabu Soding dan Jabu Suhat disebut Jabu Tongatonga Ni Jabu Soding. Itulah sebabnya ruangan Ruma Batak itu boleh dibagi 4 (empat) atau 6 (enam), makanya ketika orang batak mengadakan pertemuan (rapat) atau RIA di dalam rumah sering mengatakan sampai pada saat ini; Marpungu hita di jabunta na mar Ampang na Marjual on, jabu na marsangap na martua on. Dan seterusnya…… BAGAS RIPE RIPE Dihatiha nasalpui (zaman dahulu) terkadang suku bangsa Batak i mendirikan rumah secara kongsi atau rumah bersama antara abang dan adik dan rumah itu di sebut BAGAS RIPE RIPE. Sebelum mendirikannya mereka terlebih dahulu bermusyawarah dan menentukan dan memutuskan; siapa yang menempati jabu BONA, siapa yang menempati jabu Soding jabu SUHAT dan jabu Tamparpiring. Tentunya rumah seperti ini sudah agak lebih besar, dan sifat seperti ini adalah sisa sisa sifat masyarakat kommunal. Namun biarpun adanya nampak sifat sifat kommunal pada keluarga seperti ini, mereka seisi rumah saling menghormati terutama terhadap wanita. Tidak pernah ada perkosaan ataupun perselingkuhan seperti marak maraknya di zaman yang serba materialis ini. Para nenek Suku Batak pada hatiha (ketika) itu menghormati istri kawannya yang kebetulan suaminya berada di luar rumah. Disinilah keindahan bahagian dalam rumah Batak itu terutama di bidang moral. Mereka menghormati hak hak orang lain dan menghormati ukuran ukuran (Ampang/Jual) hukum hukum wilayah didalam rumah yang tidak memiliki bilik (kamar) mereka sangat mengakui bahwa rumah itu memang jabu namar Ampang Marjual. Rumah (Ruma) yang didalam bahasa asing disebut HOUSE mempunyai banyak cara untuk menyebutnya sesuai dengan fungsinya. Bilamana Ruma itu tempat penyimpanan padi maka para nenek nenek Suku Batak menyebutnya Sopo PARPEOPAN EME. Bilamana Ruma (Sopo) itu berfungsi sebagai tempat pemujaan DEWATA MULA JADI NA BOLON I (TUHAN ALLAH), maka tempat itu dinamakan Joro. Dan sampai sekarangpun masih banyak orang Batak menyebut Gereja itu dengan sebutan Bagas Joro ni DEBATA. Bagas Joro yang lama bentuknya persis seperti Ruma Batak dan sisa-sisanya masih ada pernah penulis lihat di daerah Humbang dan mereka beribadah pada hari Sabtu. Ada juga Ruma itu khusus tempat musyawarah para keluarga dan para kerabat kerabat tempat membicarakan hal hal yang penting. Tempat tersebut di namakan Tari SOPO dan biasanya tari sopo tidak mempunyai dinding contohnya dapat kita lihat di Lumban Bulbul Kecamatan Balige yang pemiliknya bernama S.B Marpaung (Op. Miduk), atau di beberapa tempat masih ada lagi sisa sisa tari sopo yang dapat kita lihat. Kenapa disebut BAGANDING TUA? Kata kata yang lain untuk menyebut rumah itu ada juga mengatakan; SIBAGANDING TUA, menurut sunber yang layak di percayai BAGANDING TUA itu adalah sebuah mahluk yang juga ciptaan Allah, wujudnya seperti seekor ular yang panjangnya paling paling 2 jengkal jari tangan. Bagi orang yang bernasib mujur bisa saja BAGANDING TUA datang rumahnya dan pasti membawa rejeki yang melimpah ruah. Pokoknya bila Ruma itu memiliki BAGANDING TUA pemiliki Ruma itu akan kedatangan rejeki dari berbagai penjuru. Demikianlah Suku Batak itu sering memakai kata kata penghalus dan sastra untuk menunjukkan ruma sebagai tempat tinggal manusia dengan menyebut JABU SI BAGANDING TUA. Dari catatan yang dihimpun, Istilah Baganding tua juga diartikan sebagai peristilahan kepada perempuan (istri) pemilik rumah, dan untuk laki-laki (suami) diistilahkan Simanguliman. Bila dalam petuah upacara khusus mengartikan rumah sebagai “bagas Sibaganding tua Simanguliman on”, artinya suami dan istri masih lengkap. Perempuan (isteri) juga diartikan “pangalapan tua”, sumber berkat, sementara rumah diartikan sama dengan perhimpunan berkat harta dan keturunan serta kehormatan. “Namarampang Namarjual” diartikan bagi sebuah rumah yang memiliki kehidupan, memiliki harta, aturan dan penegakan hukum dalam keluarga serta masyarakat. Kehilangan seorang isteri merupakan kehilangan kehormatan bagi sebuah keluarga dan rumah itu sendiri, sehingga penempatan istilah Sibagandingtua dan Namarampang Namarjual otomatis tidak lagi diucapkan sampai seorang perempuan (isteri) atau menantu dari salah seorang anak lelaki ada menempati rumah itu. Menurut cerita rakyat, bila seorang isteri bijaksana yang menghidupi keluarga itu meninggal dunia, maka “boraspati” (cecak) akan meninggalkan rumah itu. Boraspati adalah lambang kesuburan dan selalu dibuat hiasan rumah adat batak. Kebenarannya belum pernah diteliti. BALE BALE: Berbagai macam penyebutan untuk menunjukkan Ruma (tempat tinggal manusia) di dalam bahasa Batak, kata BALE juga sering di sebut sebut, tetapi BALE kurang biasa di pakai sebagai hunian tempat berkeluarga (HOUSE dalam Bahasa Inggris). Bale artinya Balai tempat bertemu antara penjual dan pembeli. Contoh Balairung Balige yang modelnya seperti RUMA GORGA BATAK, akan tetapi fungsinya adalah sebagai tempat berjual beli kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi biarpun BALEBALE tidak biasa seperti hunian tempat berkeluarga dan anak beranak Orang Batak sekarang sering juga menyebutkannya sebagai rumah biasa (House). Buktinya; mereka berkata “PAJONG JONG BALE BALE do anakta nuaeng di Medan”, artinya: Anak kita sedang membangun rumah di Medan. Padahal rumah yang dibangun anaknya di Medan adalah rumah gedong. Disan do “Bale balenta”, (Disanalah rumah kita) “Nungnga adong Balebale ni lae i di Jakarta” (sudah ada rumah ipar kita itu di Jakarta. Tangga gogop (genap) Tadi kita sudah mengetahui bahwa Ruma Batak itu menurut tangga dan pintunya dibagi menjadi 2 (dua) bahagian yaitu Ruma Batak si Tolumbea dan Ruma Batak Di Baba ni Amporik. Namun kalau jumlah anak tangganya selalu ganjil apakah itu beranak tangga 9 atau 11 atau 7 pokoknya jumlahnya selalu ganjil. Bagi masyarakat Batak Toba jumlah anak tangga yang genap (gogop) adalah pantang, sebab jumlah anak tangga rumah adalah menunjukkan bahwa pemilik rumah adalah keturunan budak (Hatoban). Hal seperti ini tidak terdapat bagi Ruma Batak sebab tidak mungkin seorang budak dapat mendirikan Rumah Batak, atau sebagai pemilik Ruma Batak. Kalaupun ada Rumah beranak tangga yang genap (gogop) itu mungkin pada rumah jenis lain. Karena di tanah Batak pada jaman dahulu dan jaman sekarang ada juga kita dapati rumah EMPER bahkan jumlahnya jauh melebihi dari Ruma Batak. Menurut cerita yang didapat dari hasil bincang bincang antara penulis dengan orang yang layak dipercayai bahwa pada zaman dahulu ada terdapat budak di Samosir. Dan kalau budak itu mau makan terlebih dahulu bersuara ngeong (mar ngeong) seperti suara kucing barulah tuannya meletakkan nasi di lantai rumah. Dan kalau budak sudah merdeka di buatlah rumah pondoknya dengan tanda jumlah anak tangga rumahnya genap seperti 2 atau 4. Pada zaman zaman permulaan Kemerdekaan Indonesia penulis masih sempat mendengar bahwa anak pemilik rumah yang bertangga genap sangat sulit mendapat jodoh yang cantik. Jadi secara jelasnya bahwa Rumah Batak itu tidak ada yang beranak tangga yang gogop. DATU : Di dalam masyarakat Batak yang lama, Datu adalah sangat berperan baik dalam rangka penyediaan bahan bahan bagunan dari hutan seperti kayu, ijuk (bahan untuk atap rumah), rotan, batu pondasi dll. Sebab bukan tidak mungkin bahan bahan bagunan itu adalah milik dari mahluk mahluk halus di hutan. Misalnya batu itu adalah sebagai tempat duduk duduknya (santai santai) mahluk halus di hutan dan terambil oleh manusia ubtuk bahan pondasi Ruma ini akan membawa malapetaka bagi penghuni Ruma. Begitu juga kayu itu, ada juga miliknya penguasa penguasa hutan yang tak boleh digunakan manusia, begitu juga rotan sebagai bahan pengikat ada juga miliknya penguasa Hutan (Begu). Datu itu memiliki pengetahuan metafisik yang dapat melihat, mendengar dan mencium yang tak dapat dilihat dan didengar oleh manusia biasa. Untuk memulai pembangunan ruma dan memasuki ruma, datu harus membuka buku Porhalaan/ sejenis buku pedoman orang Batak. Di dalam buku Porhalaan ada ditunjukkan waktu kapan begu berdiam diri, kapan bersantai, kapan mengganggu, makanya harus ada masyarakat Batak pada zaman dahulu percaya akan Sumangot dan begu, yaitu roh nenek moyang yang selalu hidup disebut tondi orang yang sedang bermimpi dianggap rohnya sedang bepergian dan mengembara. Apa yang dialaminya dalam pengembaraan itulah mimpinya. Roh berpusat dalam kepala (simanjujung). Kepala orang Batak tidak boleh dilangkahi, bisa-bisa rohnya merasa malu, terkejut atau melompat. Itulah sebabnya orang Batak pada acara-acara tertentu meletakkan beras sedikit di atas kepala (manjomput boras si pir ni tondi) misalnya kalau kebakaran rumah, kedatangan menantu, anak yang sudah lama merantau dan pulang ke rumah. Orang Batak selalu suka menyebutkan perkataan Horas. Perkataan itu sama dengan keras atau kokoh; kekar, di dalam Bahasa Indonesia orang berjumpa satu sama lain mengucapkan Horas, para pemimpin (Presiden-Menteri-Gubernur dll) yang datang berkunjung ke daerah Toba selalu disambut dengan suara gemuruh Horas…horas, ada pula ucapan Horas Bangso Batak maksudnya supaya roh orang itu keras, kuat, kokoh. Karena orang Batak itu selalu mengutamakan Pir ni Tondi (kerasnya roh). Orang Batak yang pintar dan dituakan di masyarakat juga digolongkan Datu Perkataan Datu berasal dari kata Da+Tu. Perkataan Da sering digunakan untuk menghormati seseorang misalnya Da inang (ibu), Da tulang, Da ompung (nenek). Datu, diyakini selalu mengatakan yang benar, mensyaratkan kebenaran yang tidak diketahui kebanyakan orang. Mengatakan yang benar “tutu”, dikuatkan dengan pernyataan “nda-tutu” atau “da-tutu”. Sama halnya pernyataan serang ibu “da-inang”. Istilah dan pemahaman arti Datu mulai bergeser saat terjadinya pembohongan dan kekebasan mengaktualisasikan diri dalam masyarakat. Kesalahan yang pernah terjadi dilakukan seorang datu akhirnya berdampak kepada merosotnya penilaian tentang Datu. Datu, saat ini cenderung diartikan hanya sekedar ahli pengobatan dan nujum, perdukunan diartikan pula perilaku perbuatan jelek kepada orang lain seperti santet dan lain sebagainya. BAHAGIAN-BAHAGIAN RUMA BATAK Menurut tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian : 1. Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-tiang pendek, pasak (rancang) yang menusuk tiang, tangga (balatuk) 2. Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding samping, dan belakang 3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur diatas urur membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari pohon enau). Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll. Bagian tengah adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-benda keramat (ugasan homitan). Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920 berkebangsaan Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het Toba Batak Huis, ketiga benua itu adalah : 1. Dunia atau banua toru (bawah) 2. Dunia atau banua tonga (tengah) 3. Dunia atau banua ginjang (atas) Selanjutnya orang Batak Toba yang lama telah berkeyakinan bahwa ketiga dunia (banua) itu diciptakan oleh Maha Dewa yang disebut dengan perkataan Mula Jadi Na Bolon. Seiring dengan pembagian alam semesta (jagad raya) tadi yang terdiri dari 3 bagian, maka orang Batak Toba pun membagi/ merencanakan ruma tradisi mereka menjadi 3 bagian. Rumah tradisi mempunyai tiga tingkat sesuai dengan tingkat kosmos, demikian tulisan Achim Sibeth seorang the Batak peoples of atap (tarup). Atap rumah tradisi itu adalah ijuk (serat batang pohon enau) yang disusun dengan tebal  20 cm rapi dan berseni. Di bawah ijuk ada lais-lais kecil yang banyak, bahannya diambil dari pohon enau juga dinamai hodong. Di atas ijuk tersebut ditaruh dengan lidi tarugit itu bukan asal diletakkan semuanya, disusun dengan seni Batak tertentu sehingga bagian atas ruma Batak itu nampak gagah, anggun, dan berseni. Tentang tarugit Tarugit adalah suatu benda untuk menciptakan suatu ungkapan yang dapat menjadi suatu pedoman hidup orang Batak Toba. Para orang-orang Batak sering berkata Ni arit tarugit Pora-pora, molo tinean uli teanon do dohot gora, atau dengan kata lain unang hita ripe sitean uli so dohot tumean gora. Sebagai inti sari dari ungkapan ini adalah uli dan gora, namun uli dan gora adalah 2 kata yang sangat berlawanan tetapi sangat berguna untuk pedoman hidup orang Batak Toba. Uli adalah menggambarkan keberuntungan (laba), kehormatan, kejayaan, keharuman nama. Gora adalah menggambarkan pengeluaran tenaga, modal, pengorbanan waktu dan berbagai perjuangan. Sebagai contoh : Untuk menjadi orang success terkenal/ beruntung atau sebagai orang pintar kita harus mengeluarkan modal yang besar, waktu dan tenaga yang berlebih dan berbagai promosi sebagai goranya. Untuk menjadi seorang pintar dan sarjana atau jenderal, seseorang harus kuat bekerja dan berjuang serta memakan gizi baik. Dalam pesan para nenek (ompung ta na parjolo) janganlah menjadi manusia ripe. Manusia si ripe artinya orang yang hanya memikirkan dan memperoleh keuntungan tanpa melalui pengorbanan dan perjuangan. Makanya di zaman yang serba canggih ini banyak kita jumpai manusia-manusia yang tidak beres karena manusia itu telah meninggalkan poda ni ompu itu; Ni arit tarugit pora-pora unang hita ripe sitean uli so dohot tumea gora

MENGAJARI SOPAN SANTUN PADA ANAK

Seorang ibu sedang mengajari kedua putranya tentang sopan santun... Ibu : "Kakak, adik... dengar, kalau mama dan papa lagi ngobrol tidak boleh diganggu." Anak-anak : "Iya maa..." Ibu : "Terus... kalau mama dan papa lagi makan, juga tidak boleh diganggu! Itu tidak baik ya..." Anak-anak : "Iya maa..." ibu :kalau ada tamu lagi ngomong tak boleh diganggu,, anak-anak : iya,maa.. Ibu : "Ya sudah, kalau begitu asik main sama kakak dulu di luar... sekarang mama mau makan siang!" Anak-anak : "Iya maa..." Belum beberapa menit berlalu, si kakak masuk ke rumah sambil menangis keras, Kakak : (sambil menarik baju ibunya) "Mama, mama..." Si ibu langsung marah dan kesal padahal baru aja diajarin, Ibu : "Kakak... Tadi kan mama sudah bilang, kalau mama lagi makan jangan diganggu!" Kakak : (sambil menarik baju ibunya lagi) "Mama... Mama..." Ibu : "Tunggu sampai mama selesai makan dulu!" Akhirnya si kakak menunggu dengan sedih sampai ibunya selesai makan, Ibu : "Nah, kakak, sekarang mama sudah selesai makan... Kakak kenapa sampe nangis seperti itu?" Kakak : "Mama... tadi waktu kakak main sama adik di luar, tahu-tahu ade kepeleset dan jatuh di sumur belakang rumah...".. ibu : ################################???????????????