Upacara Horja Bius (Budaya Batak Toba)
Huta atau kampung di daerah komunitas
orang Batak Toba adalah persekutuan masyarakat yang paling kecil yang
dibentuk oleh marga. Mulanya mereka tinggal di kampung induk tetapi
karena penduduknya terus berkembang menyebabkan terbentuk huta-huta yang
baru. Untuk mengatur kepentingan bersama beberapa kampung atau huta
membentuk federasi atau persekutuan yang sifatnya masih terikat satu
dengan lainnya. Kumpulan huta disebut horja.
Perserikatan horja ini lebih
banyak mengurus hal yang berhubungan dengan duniawi. Sedangkan urusan
yang berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan mala
petaka yang melanda warga seperti wabah penyakit, air bah, kekeringan,
masyarakat membentuk perserikatan yang meliputi kelompok-kelompok semua
marga yang ada di wilayah bencana (gabungan dari horja) disebut bius.
(Siahaan ; 2005: 153-158). Pada masa lalu di Samosir pesta persembahan
kurban (pesta bius) dilakukan untuk memohon kepada dewata supaya tidak
terjadi musim kering berkepanjangan, tidak ada paceklik, tidak ada wabah
penyakit. Pesta dilakukan berkala setiap tahun, namun setelah misi
agama Kristen masuk dan berkembang di daerah ini upacara Horja Bius
tidak dilakukan lagi. Pesta terakhir (pesta bius mangase taon) terakhir
pada sekitar tahun 1938. (Siahaan, 2004: 165-166).
Tanggal 11 Juli 2006
di desa Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dilaksanakan
pagelaran budaya “Pesta budaya Horja Bius Tomok II”. Pagelaran ini
menurupakan teater kolosal yang merupakan modifikasi upacara yang pernah
dilakukan oleh para leluhurnya. Pada masa dahulu upacara Horja Bius
Tomok bersifat sakral sebagai upacara persembahan kepada leluhur Ompung
Raja Sidabutar yang telah mendirikan kampung Tomok.
Dalam
Pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion Ritual
Hahomion adalah upacara yang dilakukan oleh warga masyarakat di desa
Tomok, Kecamatan Simanindo yang ditujukan untuk pemujaan kepada roh
leluhur dan kekuatan gaib. Maksud diadakannya Ritual Hahomion untuk
memberikan sesajen/persembahan kepada kekuatan gaib dan roh leluhur
warga Tomok. Mereka percaya bahwa roh leluhur masih memiliki peran dalam
kehidupan keturunannya. Mereka juga percaya bahwa roh nenek moyang
senantiasa memantau kehidupan sosial kemasyarakatan. Persembahan ini
dimaksudkan sebagai bukti nyata dari warga untuk pengakuan akan adanya
kekuatan ghaib yang mengiringi kehidupan mereka.
Tujuan
ritual Hahomion untuk memohon agar roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap
memantau kehidupan warga dan memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar
senantiasa memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan ketentraman hidup
warga.
Penyelenggara
Ritual Hahomion adalah warga desa Tomok pelaksananya dipilih melalui
musyawarah kampung/desa. Menurut informasi yang diperoleh dari beberapa
warga Tomok bahwa seseorang ditunjuk sesuai dengan keahlian dan
kemampuan atau kecakapan yang dimiliki untuk melaksanakan tugas dan
sekaligus sebagai penanggung jawabnya. Dalam musyawarah desa ditetapkan
ketua/penanggung jawab secara keseluruhan Ritual Hahomion. Dipilih juga
wakil ketua dan petugas yang akan menjadi penanggung jawab dari setiap
kelompok/tahapan ritual. Persiapan ritual dimulai dari pembicaraan
antara pengetua adat/ kampung atau si empunya hajatan/yang akan
mengadakan persembahan. Dulu ritual ini diutarakan oleh perorangan jika
yang bersangkutan ingin menyampaikan keinginan atau permintaannya untuk
kepentingan/hajatan pribadi/keluarga. Bila keinginan/hajatan untuk
kepentingan bersama, maka dibicarakan secara musyawarah. Persiapan yang
diadakan untuk upacara hahomion adalah mengumpulkan perlengkapan sesajen
yakni mulai mencari bahan-bahan yang ditentukan, mengolah atau memasak
sampai siap disajikan pada satu hari sebelum ritual. Persiapan
mengolah/memasak bahan sesajen dilakukan pada malam hari sebelum upacara
puncak ritual. Persiapan kedua adalah menyiapkan tempat ritual baik di
rumah bolon maupun di halaman rumah bolon, dan di kompleks pekuburan
Ompung Raja Sidabutar.
Di sekeling rumah bolon dihiasi
daun kelapa muda atau janur dan meja empat segi panjang yang juga
dihiasi dengan daun kelapa muda/janur. Di kompleks pekuburan Ompung Raja
Sidabutar terdapat meja berbentuk segitiga yang dihiasi dengan daun
kelapa muda atau janur merumbai ke bawah. Di kompleks kubur Ompung
Sidabutar ini juga dihiasi dengan kain tiga warna, merah, putih dan
hitam. Di sepanjang jalan antara rumah bolon dan pekuburan Ompung
Sidabutar dihiasi daun kelapa muda/janur sebagai bendera/gaba-gaba.
Persiapan lainnya adalah mencari/mengumpulkan daun sirih pilihan yang
dipergunakan sebagai persembahan dan kelengkapan bahan upacara. Daun
sirih ini sebagian juga dimakan oleh inang-inang yang akan menjunjung
makanan sesajen, datu, pemasak makanan dan pemimpin upacara sebelum
acara dimulai. Perlengkapan upacara berupa bahan makanan yang dimasak,
dedaunan sebagai pelengkap ritual Dedaunan yang diperlukan dalam upacara
ini antara lain; daun kelapa muda, daun pisang dan daun sirih.
Perlengkapan bahan makanan meliputi dari hewan, ikan, tepung beras,
buah-buahan diantaranya adalah:
1.
Satu Ekor Kambing Putih (hambing putih) yang dimasak dan dipotong
sesuai potongan sendi tulang kambing, bagian kepala, leher, dada/badan,
pangkal paha bagian atas, paha bagian tengah kaki bagian depan dan
belakang. Daging kambing ini dimasak dengan bumbu seperti cabe, garam,
jahe, lengkuas, sere, bawang merah bawang putih, ketumbar gonseng,
merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti
bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup
dalam pinggan pasu/piring besar dari keramik.
2.
Ayam Putih Jantan (Manuk Putih Jantan/manuk mira), dipotong sesuai
potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada,
tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha
bawah, kaki dan buntut dimasak dengan bumbu cabe, garam, jahe, lengkuas,
sere, bawang merah, bawang putih, ketumbar gonseng, merica, buah pala
dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat seperti bumbu kare
disajiakan/disusun sesuai urutan ketika hewan hidup dalam pinggan pasu
atau piring biasa/piring keramik putih ukuran sedang.
3.
Ayam Jantan Merah Panggang (manuk mira narara pedar) dipotong sesuai
potongan sendi tulang ayam, potongan berupa; kepala, leher, dada,
tuah/punggung, rempelo/bagian dalam perut, sayap, paha pangkal, paha
bawah, kaki, buntut, ayam dicuci dan dipanggang, darahnya dicampurkan ke
bumbu dan dilumuri secara menyeluruh. Ayam ini yang memasak khusus
suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini nantinya bila
ritual selesai. Disajikan dalam pinggan pasu dengan posisi ayam duduk.
4.
Ayam Jantan (manuk faru basi bolgang). Ayam ini utuh ditujukan kepada
yang sakti, ayam dipotong dibelah/dikeluarkan bagian dalam perutnya,
direbus/dikukus sampai matang, sebelum direbus diberi bumbu rendang tapi
tak memakai santan.
5.
Sagu-sagu. Bahan kue ini dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian
dipadatkan dibentuk menggumpal/membulat. Kueh ini dimaksudkan sebagai
lambang pemberi semangat.
6.
Itak Nani Hopingan, kueh dari tepung beras dicampur dengan pisang, gula
putih, gula merah ditumbuk/dicetak bisa berbentuk bulat diletakkan di
piring. Di atas itak nani hopingan diberi telur, bunga raya dan roddang
(kembang jagung), pisang dan menge-mangeni pining (bunga pinang) Kueh
ini dimaksudkan sebagai lambang minta doa restu.
7.
Itak Gurgur atau Pohul-pohu. Bahan kue ini dari tepung beras, gula
putih, kelapa digongseng setengah matang dicampur sampai menyatu dan
dapat dibentuk, dengan menggunakan jari/genggaman.
8.
Ihan Batak yakni ikan khusus dari danau toba yang dimasak utuh satu
ekor dengan terlebih dahulu dibersihkan bagian perut dan diberi bumbu
cabe, garam, jahe, lengkuas, serre, bawang merah bawang putih, ketumbar
gonseng, merica, buah pala dan jintan. Semua bahan secukupnya dibuat
seperti bumbu kare, disajikan di atas nasi kuning yang diberi bumbu di
sertakan dengan pisang, itak gurgur dan bahan lainnya.
9.
Anggir pangurason yakni air yang dicampur dengan jeruk purut, bunga
raya dan dedaunan untuk penawar dan bahan lainnya, ditaruh dalam wadah
berupa cawan putih.
10. Assimun pangalambohi adalah bahan yang terbuat dari timun dipotong panjang dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
11.
Tanduk horbo paung yang terbuat dari pisang berukuran besar-besar
seperti pisang ambon/pisang Batak yang dimaksudkan sebagai penyegar
perasaan.
12.
Hajut/kampil; sumpit putih diisi beras, uang pecahan (hepeng) nilai
terbesar Rp.100.000,-, ditutup dengan daun sirih. Hajut ini sebagai
perlambang kunci persembahan yang dibawa oleh Datu/dukun dan diletakkan
di atas meja persembahan bersama bahan sajen lainnya.
13.
Aek Naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan
steril. Cara penyajiannya kelapa muda dilobangi bagian atasnya, di atas
lobang tersebut diletakkan jeruk purut dan bunga raya merah.
14. Perlengkapan makan sirih yaitu daun sirih, gambir, kapur, cengkeh, buah pinang dan tembakau.
15.
Perlengkapan pakaian untuk semua peserta upacara adalah memakai pakaian
adat Batak Toba (ulos), bagi perempuan ulos diselempangkan atau
diselendangkan sebagai pengganti baju, bagi laki-laki ulos disarungkan
dan diselempangkan tanpa baju. Bagi orang tertentu memakai ikat kepala
menunjukkan kedudukan dalam pranata sosial. Khusus Datu memakai pakaian
baju berwarna hitam yaitu melambangkan bahwa datu tersebut seolah-olah
bertindak sebagai perlambang kehadiran Debata Batara Guru (salah satu
dari Debata Na Tolu) yang merupakan wujud pancaran kasih Debata Mulajadi
Na Bolon perihal kebijakan, sementara pada kepala memakai ikat kepala
berwarna merah yakni melambangkan Debata Bata Bulan yang merupakan wujud
pancaran kasih Debata Mulajadi Na Bolon perihal kekuatan.
16.
Perlengkapan lainnya adalah “Dupa” tempat membakar kemenyan, yakni
wadah yang diisi abu, bara api, dan ditaburkan kemenyan sedikit demi
sedikit. Aroma khas kemenyan dimaksudkan untuk mengundang kehadiran
mahluk gaib/kekuatan gaib untuk hadir dan menyatu dalam ritual yang
dilaksanakan.
17.
Pergondangan yaitu menyiapkan satu gordang (gondang besar), 5 buah
topong (gondang yang ukurannya lebih kecil) 1 buah kesik (hesek-hesek)
dan 2 buah ogung doal (Gong), ogung ihutan dan 1 ogung oloan panggor dan
1 buah sarune.
Upacara
adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang
dilakukan nenek moyang mereka yang terdahulu dan disamping itu mereka
hendak melestarikan budaya yang mereka miliki yang juga berguna untuk
menarik wisatawan kedaerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar